Oleh: Memed Gunawan
TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta -- Melangkah memasuki rumah si Nyai, menurut Paimin, serasa memasuki dunia harapan dan sekaligus masalah. Perempuan muda, janda beranak satu itu penuh semangat. Tidak pernah ada keluhan keluar dari mulutnya. Wajahnya mencerminkan kepercayaan diri yang tinggi, tetapi Paimin merasakan harapan dan masalah yang jadi kemelut saling bertubrukan.
Ruang tamu itu multi fungsi, tidak jelas apakah efisien atau keterbatasan. Untuk menerima tamu merangkap untuk menyimpan puluhan tempayan tanah liat berisi telur yang sedang dalam proses pengasinan. Itu adalah kegiatan satu usaha rumahtangga seorang perempuan yang penuh kreativitas. Perjuangan keras. Mulai dari coba-coba dan pengalaman beberapa kali gagal, tetapi berbekal tekad dan semangat akhirnya berhasil. Sayangnya dia hanya berhasil membuat telur asin yang baik dan enak, tapi usahanya belum berhasil memberikan penghasilan yang menyejahterakan hidupnya. Dengan modal yang dimilikinya, usahanya belum beranjak maju.
“Hanya berisi 20 telur dalam setiap tempayan karena hanya sampai di sana kemampuan modal kami. Banyak yang pesan telur asin saya tetapi saya tidak mampu memenuhinya, perlu tambahan modal. Cuma untuk mendapatkan tambahan modal yang kita perlukan susah sekali,” kata si Nyai.
“Kami ingin membuat 200 telur asin tiap hari, tapi kami perlu tambahan modal 50 juta.”
“Dia sudah berkeliling ingin pinjam, tapi tidak berhasil,” sambut Damiri, membela anak perempuan tunggalnya.
Limapuluh juta, uang yang sangat banyak buat orang seperti si Nyai dan kawan-kawannya, tetapi uang yang tidak berarti buat lembaga pemberi kredit itu tidak juga mengucur. Tidak ada alasan buat pemberi kredit untuk tidak meluluskan kreditnya. Usaha itu sudah demikian nyata, berjalan dengan baik dan memberi keuntungan.
“Tengkulak menawarkan bantuan, tapi setelah dihitung-hitung biayanya sangat mahal. Kami harus terikat kontrak dengan harga yang mereka tentukan. Saya sakit hati mendengarnya.”
“Kami jadi seperti budak, bekerja hanya untuk menguntungkan dia, Pak,” kata si Nyai.
“Dia sengaja membuat kami tidak berdaya sebab kalau kami maju mereka akan kehilangan sumber penghasilan,” Damiri menggerutu.
Paimin menangkap ketidakberdayaan dan kegetiran usaha ini. Si Nyai adalah pribadi yang siap muncul dan membesarkan diri tapi ketidakmampuan mereka dalam permodalan, yang sengaja atau tidak sengaja dibiarkan, membuatnya tidak berdaya sehingga bisa berakhir dengan keputusasaan.
“Bagaimana dengan bank?” tanya Paimin.
“Bank ada di dekat kantor kecamatan, tapi saya belum mencoba.”
“Bank harian juga ada di sini dan menawarkan bantuan modal pada kami, tetapi mereka terlalu kejam. Bayar hariannya besar, sehingga keuntungan kami berkurang lebih dari separohnya. Padahal si Nyai harus menanggung semua resiko. Bagaimana kalau kebetulan pembeli kurang, tidak laku, rusak, atau pembeli telat bayar. Si Nyai bisa terlibat hutang yang bunganya tinggi. Kalau dihitung-hitung bunganya bisa mencapai 40 persen setahun,” kata Damiri tanpa menunggu jawaban si Nyai.
Paimin mengerti biaya operasional bank seperti itu sangat besar. Mereka harus menurunkan penagih hutang setiap hari ke semua nasabah. Tapi usaha si Nyai yang menguntungkan itu sangat sangat layak untuk dibantu perbankan dengan bunga wajar.
Sebenarnya telur asin bikinan si Nyai itu laris manis. Kulitnya telurnya bersih berwarna biru terang, putih telurnya cerah dan empuk, dan merah telurnya masir, berminyak. Tapi si Nyai tidak mampu meningkatkan usahanya, hasil penjualan telur asinnya, setelah dikurangi kebutuhan makan sehari-hari seadanya, hanya cukup untuk membeli telur bebek sejumlah yang dijualnya. Tidak mungkin untuk mengembangkan usaha.
“Kredit untuk telur asin sulit tidak seperti kredit motor, begitu mudah digelontorkan,” kata si Nyai.
“Jadi bagaimana rencana seterusnya?” tanya Paimin.
“Sementara jalan saja terus, kalau berhenti saya tidak bisa menghidupi keluarga. Kasihan anak saya. Paling tidak sekarang saya sudah bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Saya tetap mengharap siapa tahu Tuhan memberi jalan,” jawab si Nyai.
Suaranya tetap semangat dan mukanya tetap berseri. Bukan karena dia janda yang cukup menarik, tetapi karena dia tidak mengeluh dan tetap penuh harapan. Semua itu terpancar dari sikap dan tutur katanya.
“Memang susah sekali keluar dari kemiskinan, ya, Pak. Ada banyak Proyek Pengentasan Kemiskinan tapi tetap saja kita miskin,” kata Damiri.
“Malah ada yang mengharap Kemiskinan Ini Janganlah Cepat Berlalu, seperti lagu Kemesraan Iwan Fals, he he...,” gelak guru Rukanta.
“Itu menuduh namanya, pak Guru.”
“Tapi saya tetap optimis si Nyai akan menemukan Jalan Terbaik seperti lagu Pance,” Paimin tak mau kalah.
“Saya tidak percaya orang tidak bisa keluar dari kemiskinan selama orang percaya bahwa modal utama untuk usaha itu adalah dirinya sendiri. Yang lainnya seperti modal, barang, tanah dan sebagainya itu suatu saat akan datang kalau dirinya tetap berusaha dengan percaya diri. Nyai adalah satu contoh. Kita akan lihat, dia akan bangkit,” Paimin melanjutkan kata-katanya.
“Saya tidak percaya itu akan terjadi,” kata Rukanta.
“Begini. Setiap orang kalau ditanya apa dibutuhkan untuk mulai usaha, selalu jawabnya modal. Kemudian saya tanya, kalau modalnya sudah ada, apa yang akan dilakukan? Dia aa-uu.. gak bisa jawab. Seharusnya dia tahu dulu apa yang akan dilakukan, apa rencananya, baru ngomong soal modal. Modal dibicarakan belakangan. Semangatnya dulu. Seperti si Nyai,” jawab Paimin.
BACA JUGA:
“Tapi dari dulu orang miskin itu tetap miskin. Orang tuanya mewariskan kemiskinan pada anak cucunya. Orang tuanya mewariskan kondisi fisik yang rentan karena tidak mampu memberi anak-anaknya makanan bergizi yang cukup. Mereka mewariskan keterbatasan pengalaman dan pendidikan. Lihat saja petani gurem dan buruh tani kita. Dari dulu hidupnya tidak berubah. Hanya keajaiban yang bisa merubah mereka. Makanya banyak yang mulai berjudi dan pasang lotere, menunggu keajaiban,” kata Rukanta.
"Kemiskinan menurun, kang Paimin. Bukan angkanya, tapi menurun ke anak cucunya, ha ha ha," selang Damiri.
“Ya, betul. Anak-anak mereka putus sekolah, kemudian menjadi kelompok pengangguran dan penghuni jalanan. Yang beruntung, paling menjadi pengemudi ojeg itu,” Rukanta menyambung pembicaraannya.
“Bayangkan saja. Kalau si Nyai dapat pinjaman dari bank seperti yang ada dalam iklan TV itu, dari usaha membuat telur asin sebanyak 200 butir setiap hari, si Nyai akan mendapat untung paling tidak 150 ribu sehari. Tapi mengapa ini tidak bisa terjadi? Meminjam modal bukan main susahnya, padahal dia akan bayar.”
Paimin termenung. Trauma kredit macet menghantui banyak bank sehingga bank sangat hati-hati memberikan kredit ke usaha kecil yang tidak punya cukup agunan.
(Cerita Fiktif yang Mendekati Kenyataan. Diolah dari "Catatan Paimin", Memed Gunawan. Foto lukisan Abidin Anwar)
===
Sahabat Setia SINAR TANI bisa berlangganan Tabloid SINAR TANI dengan KLIK: LANGGANAN TABLOID SINAR TANI. Atau versi elektronik (e-paper Tabloid Sinar Tani) dengan klik: myedisi.com/sinartani/